Kamis, Maret 19, 2009
Kamis, Maret 12, 2009
Mengikuti Sunnah Nabi
Perilaku Muhammad (saw) disebut sunnah. Menurut Islam, sunnah Nabi adalah sumber hukum kedua setelah Qur'an. Keseharian dan perilaku Rasulullah, bahkan diakui oleh para sarjana Barat, merupakan gambaran kesempurnaan utuh seorang manusia. Dan tidak ada satupun seorang manusia di muka bumi yang diikuti perilakunya oleh berjuta-juta orang hingga detik ini dalam sejarah peradaban manusia. Akhlak Nabi (saw) merupakan kesempurnaan akhlak pada diri seseorang. Allah menegaskan : "Akhlaq Nabi adalah Qur'an". Pada ayat lain, Dia berfirman : "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu." (Q.S. al Ahzab : 21). Pada firman Allah yang lain : "Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (Q.S. al Anbiya' : 107) Semua itu telah tercatat dalam sejarah Islam yang merupakan ketetapan Allah (swt). Berapa banyak kalangan salaf (generasi terdahulu) yang mengagumi dan berusaha menyelaraskan kehidupan mereka dengan sunnah. Sejak pagi hingga malam hari.
Di kalangan umat Islam telah sepakat bahwa sunnah merupakan kunci untuk memahami pesan-pesan Qur'an dan sebagai perangkat pengurai yang menunjuki dari dalil-dali yang tersedia di dalamnya. Qur'an diturunkan hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan hukum Islam secara global sebagai aturan hidup, sedang sunnah mengajarkan petunjuk pelaksanaannya ; jadi sunnah sangat diperlukan jika seseorang hendak mengamalkan secara benar ajaran Islam guna menjadi seorang Muslim yang hakiki. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an, "Siapa yang taat kepada Rasul, maka ia taat kepada Allah." (Q.S. al-Nisaa' : 80 ) Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, mengikuti sunnah atau tidak bukanlan suatu "kebebasan memilih". Sebab mengamalkan ajaran Islam sesuai garis yang telah ditentukan oleh Rasulullah adalah kewajiban yang harus ditaati, sebagaimana difirmankan dalam Qur'an : "Dan apa yang Rasul berikan untuk mu, maka terimalah ia, dan apa yang ia larang bagimu, maka juhilah." (Q.S. al-Hasyr : 7)
Hidup ini sangat singkat dan sarat dengan tipu daya dengan segala bentuk dan ragamnya yang sulit untuk dirubah. Semuanya baru akan terasa indah dan bermakna jika kita mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi. Setiap aktifitas yang diarahkan kepada Allah tidak akan menjauhkan dari hubungan hidup dengan-Nya, bahkan justru membuat Alah semakin menyukai dan meridhoinya. Tidak ada karunia kenikmatan yang lebih besar daripada sehari yang dilalui dalam ketentraman dan keserasian. Kita coba mengawali aktifitas sehari dengan mengingat Allah dan Rasul-Nya pada saat bangun pagi, kemudian menjalani paginya bersama bimbingan Nabi (saw).
Dalam setiap hendak memulai perkerjaan, Rasulullah senantiasa mengawali perbuatan dengan menyebut nama Allah. Rasulullah bersabda : "Setiap perbuatan yang tidak diawali dengan menyebut nama Allah (membaca) Bismillahirrahmanirrahim - adalah terputus (dari berkat Ilahi atau Rahmat-Nya)." (Tafsir Ibnu Katsir). Selanjutnya, hendaknya perilaku hidup ini kita selaraskan dengan ajaran Qur' an, dan mengikuti sunnah Nabi. Dengan begitu, hidup yang singkat ini akan terasa sangat bermakna, penuh hikmah dan indah. Rasa kasih sayang yang Nabi miliki, kita adopsi. Kecintaan kepada sesama dan semua makhluk Allah kita pelihara. Pengabdian hidup Nabi untuk kejayaan Islam, kita amalkan. Pengorbanan Nabi untuk kedamaian umat manusia, kita jaga. Kesederhanaan Nabi dalam hidup sehari-hari, kita ikuti. Keikhlasan Nabi dalam beramal, kita praktekkan. Maka, dengan mengikuti Nabi yang mulia karena akhlaknya, kita akan menjadi orang mulia, baik di mata Allah atau di mata manusia.
Wallahu a'lam
Rizqon Khamami.
JAGA TUJUH SUNNAH NABI S.A.W
Cerdasnya orang yang beriman adalah, dia yang mampu mengolah hidupnya yang sesaat, yang sekejap untuk hidup yang panjang. Hidup bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati itulah untuk hidup.
Kita jangan takut mati, jangan mencari mati, jangan lupakan mati, tapi rindukan mati. Karena, mati adalah pintu berjumpa dengan Allah SWT. Mati bukanlah cerita dalam akhir hidup, tapi mati adalah awal cerita sebenarnya, maka sambutlah kematian dengan penuh ketakwaan.
Hendaknya kita selalu menjaga tujuh sunnah Nabi setiap hari. Ketujuh sunnah Nabi SAW itu adalah:
Pertama, Tahajjud
karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya.
Kedua, membaca Al-Qur’an sebelum terbit matahari Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur’an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman.
Ketiga, jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke masjid, karena masjid merupakan pusat keberkahan, bukan karena panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan masjid Allah.
Keempat, jaga shalat Dhuha
karena kunci rezeki terletak pada shalat dhuha.
Kelima, jaga sedekah setiap hari.
Allah menyukai orang yang suka bersedekah, dan malaikat Allah selalu mendoakan kepada orang yang bersedekah setiap hari.
Keenam, jaga wudhu terus menerus karena Allah menyayangi hamba yang berwudhu. Kata khalifah Ali bin Abu Thalib, “Orang yang selalu berwudhu senantiasa ia akan merasa selalu shalat walau ia sedang tidak shalat, dan dijaga oleh malaikat dengan dua doa, ampuni dosa dan sayangi dia ya Allah”.
Ketujuh, amalkan istighfar setiap saat.
Dengan istighfar masalah yang terjadi karena dosa kita akan dijauhkan oleh Allah.
Dzikir, kata Arifin Ilham, adalah bukti syukur kita kepada Allah. Bila kita kurang bersyukur, maka kita kurang berdzikir pula, oleh karena itu setiap waktu harus selalu ada penghayatan dalam melaksanakan ibadah ritual dan ibadah ajaran Islam lainnya.
“Dzikir merupakan makanan rohani yang paling bergizi,” katanya, dan dengan dzikir berbagai kejahatan seperti narkoba, KKN, dan lainnya dapat ditangkal sehingga jauhlah umat manusia dari sifat-sifat hewani yang berpangkal pada materialisme dan hedonisme.
Oleh : HM Arifin Ilham
Rabu, Maret 11, 2009
Siapa Sebenarnya Suharto ? ( 10 )
Usai tragedi Priok, rezim Suharto sepertinya menemukan momentum untuk kian bertindak represif terhadap dakwah Islam. Intel disebar ke berbagai masjid untuk memata-matai khotib. Jika ceramah sang khotib dianggap sedikit keras maka langsung ditangkap dan dipenjara. Hal inilah yang menimpa Hasan Kiat, khotib dari Priok yang hanya karena ceramahnya tegas dalam akidah Islam ditangkap aparatnya Suharto.
Dalam tahanan rezim Suharto, penyiksaan sudah menjadi santapan keseharian. “Ustadz Zubir dari Kalibaru disiksa terus hingga dia meninggal dunia. Seorang tapol Islam bernama Robby giginya digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok semua. Sedang Tasrif Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet. Alhamdulillah, dia kuat,” ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.
Oleh aparatnya Suharto, walau tahu jika para tahanannya adalah orang-orang shalih, para ustadz, para aktivis masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan mereka, aparat berusaha keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan Hasan Kiat yang mengalami sendiri hal seperti itu.
Hijrah ke Lampung
Karena kondisi Jakarta khususnya dan Jawa pada umumnya sangat represif bagi dakwah Islam, sedangkan kemaksiatan tambah lama tambah meraja-lela, hal ini membuat sekelompok aktivis dakwah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah. Lampung menjadi tujuannya. Di tanah ini mereka bercita-cita membuka lahan baru, membangun rumah dan perkampungan, lengkap dengan mushola sebagai tempat ibadah dan belajar ilmu agama. Sebuah perkampungan islami, demikian harapan mereka.
Sukardi merupakan salah seorang aktivis dakwah yang memiliki harapan itu. Pemilik optik ‘Nusa Indah’ di Priok ini aktif di pengajiannya Nur Hidayat, seorang mantan atlet karateka nasional. Pada tahun 1988, seorang sahabatnya bernama Haryanto menyatakan jika mereka akan hijrah ke Lampung, tepatnya di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Lampung.
“Saya lalu rembukan dengan isteri. Isteri saya hanya berkata, ‘Jika memang itu berada di jalan Allah, saya siap kemana saja berangkat,” tutur Sukardi kepada penulis saat bertemu pada 1998. Akhirnya semua kacamata dagangan dilelang murah.
Pada 10 Januari 1989, Sukardi memboyong Ismawati (20 th) sang isteri, dua anaknya yang masih kecil (Eka Triyani, 5 th, dan Ahmad Daulatul Indi, 3 th), serta seorang ipar, Sumarni (19 th).
“Bersama sepuluh keluarga saya berangkat ke Lampung. Yang hijrah tahap pertama ini orang-orang lapangan semua. Kami bukan pendakwah. Jadi kita-kita ini yang membuka lahan,” ujar Sukardi.
“Duapuluh hari pertama tak ada kegiatan apa-apa. Kami hanya mengerjakan ibadah rutin dan menanam singkong. Informasi dari Jakarta yang menyatakan Lampung sudah siap huni ternyata belum apa-apa. Gelombang demi gelombang orang-orang Jakarta datang ke Lampung dan bergabung bersama kami,” lanjutnya.
Di saat itu, sosok perempuan berjilbab merupakan suatu keanehan. Sebab itu, kedatangan para perempuan berjilbab di Lampung disikapi oleh para warga asli, terlebih aparat pemerintah daerahnya, sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Kepala desa setempat pun melayangkan surat aduan kepada Camat Zulkifli Malik. Tak lama kemudian surat dari Camat Zulkifli datang mengundang Warsidi, pimpinan jamaah, agar datang ke kantor kecamatan.
“Entah apa isi surat aduan dari kepala desa itu. Namun surat undangan dari camat sangat mencurigakan. Apalagi kami sudah mendengar kabar jika Pak Warsidi akan ditangkap,” papar Sukardi.
Akhirnya setelah bermusyawarah, jamaah sepakat untuk mencegah Warsidi menghadap Camat. Sebagai gantinya dibuat surat yang ditulis oleh ipar Sukardi, Sumarni, yang berbunyi: “Sebaik-baiknya umaro adalah yang mendatangi ulama. Dan seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umaro.” Lalu dilanjutkan dengan kalimat, “…mengingat kesibukan kami mengisi pengajian di beberapa tempat, maka kami mohon agar Bapak bisa datang sendiri ke tempat kami untuk melihat sendiri kondisi sebenarnya.”
Tak lama kemudian Camat dikawal beberapa aparat datang menemui Warsidi. Lalu Camat itu mengundang kembali Warsidi agar datang ke tempatnya. Jamaah menolak. Situasi memanas. Setelah rombongan camat pulang, Warsidi memerintahkan agar jamaah mempersiapkan bila kondisi memburuk.
“Akhirnya saya dan kawan-kawan bikin panah di satu tempat di luar Cihideung. Tiba-tiba datang utusan Pak Warsidi yang bilang jika pada tanggal 15 Februari nanti tentara akan menyerang desa kami. Akhirnya kami balik ke Cihideung. Ada yang bilang kami berlatih bela diri, latihan memanah, itu bohong semua. Kami malah tidak mau ada konfrontasi dengan aparat di sini. Kami hanya ingin membangun satu perkampungan yang islami, jauh dari kemaksiatan,” tambah Sukardi.
Pada 3 Febrari 1989, Danramil Kapten Soetiman datang sendirian naik motor ke Cihideung. Jamaah menerimanya dengan baik. Jamaah malah menerangkan cara bercocok tanam lada yang baik. Tak lama kemudian Kapten Soetiman pulang. Situasi tetap berjalan biasa.
Lima hari kemudian, 7 Februari 1989, sepasukan tentara bersenjata lengkap menyerbu Cihideung. Jamaah Warsidi yang tidak pernah menduga akan hal itu berlarian menyelamatkan diri sambil berteriak, “Allahu Akbar!” Para perempuan dan anak-anak kecil berlarian menuju mushola yang dianggapnya aman. Rumah Allah tidak akan mungkin diserang, pikir mereka. Namun perkiraan mereka ternyata salah bear. Tentaranya rezim Suharto ternyata tidak menganggap istimewa rumah Allah. Para tentara segera mengepung mushola tersebut.
Dengan berteriak-teriak, tentara memerintahkan agar semua yang berlindung di mushola segera keluar. Para perempuan dan anak-anak kecil yang berlindung di dalam mushola kian ketakutan. Mereka hanya bisa berdzikir dengan bibir yang gemetar ketakutan. Melihat tidak ada yang mau keluar, para tentara itu langsung menembaki mushola. Belum cukup dengan berondongan tembakan, mushola yang penuh para perempuan berjilbab dan anak-anak kecil itu pun dibakar habis. Tentaranya Suharto mengulangi kekejaman yang pernah dilakukan tentara Zionis-Israel di Shabra-Satila. Semua yang ada di dalam mushola menggapai syahid dengan cara amat memilukan.
Sukardi yang saat kejadian tengah dalam perjalanan ke Jakarta lolos dari pembantaian itu. Hanya saja, isteri, ipar, dan dua anaknya yang masih balita termasuk korban yang terpanggang hidup-hidup di mushola. Walau demikian, Sukardi ditangkap di Jakarta dan ditahan sampai dengan tahun 1994, bersama dengan Nur Hidayat, Maryanto, dan yang lainnya.
Dengan mata merah menahan kesedihan yang sangat, Sukardi menerawang, “Sampai saat ini saya masih suka mendengar isak tangis anak-anak saya. Mereka memanggil-manggil saya, “Bapak.. Bapak…” Ya Allah, saya ingin melihat mereka lagi. Saya ingin tahu di mana kubur mereka. Sampai sekarang, saya tidak tahu di mana mereka dikuburkan. Mudah-mudahan, Allah mengumpulkan kami semua di jannah nanti. Amien.” Dalam Tragedi Lampung, aparat rezim Suharto telah membantai lebih dari 250 nyawa anak bangsa, sebagian besar perempuan dan anak-anak kecil yang syahid terpanggang di dalam rumah Allah. Tragedi ini pun sampai sekarang masih menyisakan banyak misteri. Penegakan hukum belum tuntas. (bersambung/rd)
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/siapa-sebenarnya-suharto-10.htm