Pekan lalu, dalam acara workshop di
Sebagai orang muslim, kita tentu pantas bertanya, untuk apakah Fakultas Syariah didirikan? Bukankah tujuannya untuk mengkaji syariah Islam dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa dunia ini sudah terbalik-balik?
Lebih parah dari itu, justru kini bermunculan dosen-dosen syariah yang aktif menghancurkan syariah Islam. Jika George W. Bush anti-syariah Islam, kita bisa maklum. Kita maklum, kalau Ariel Sharon benci kepada Islam. Kita pun maklum jika setan senantiasa berusaha menyesatkan manusia. Kita sangat paham, jika bertahun-tahun para orientalis Kristen, seperti Peter the Venerable, Arthur Jeffery, dan sebagainya senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyerang kesucian dan keotentikan Al-Quran. Tapi, bagaimana jika semua serangan itu datangnya justru dari dosen-dosen syariah? Kita perlu berteriak-teriak terus sekencang-kencangnya untuk menyadarkan umat kita, agar jangan lengah dan jangan tidur panjang dalam kebodohan dan ketidakpedulian. Kita perlu mengetuk hati dan pikiran para ulama dan pemerintah agar memahami akar masalah yang sedang kita hadapi, dan tidak terjebak ke dalam hal-hal yang superfisial.
Di dalam jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 30/2006, misalnya, terdapat sebuah tulisan dari Prof. Dr. Muhibbin yang berjudul ”Nikah Tanpa Wali”. Dia adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Semarang periode 2002-2006. Profesor ini menyebarkan pendapat bahwa untuk menikah, perempuan tidak memerlukan wali. Sebab, sebagaimana laki-laki, perempuan juga dianggap mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Hukum yang mewajibkan adanya wali bagi wanita dalam hukum perkawinan dianggapnya tidak adil bagi wanita dan bernuansa diskriminasi gender. Bahkan, dia katakan, ”Maka, secara rasional keberadaan wali nikah sangat perlu dipertanyakan dan ditinjau ulang.” Menurut sang profesor IAIN ini, jika keberadaan wali nikah bagi wanita terus dipertahankan dalam hukum Islam, maka perlu dipertanyakan kepada para ulama dan cendekiawan tentang rasa keadilan yang digadaikan demi keberadaan wali nikah. Untuk melegalisasikan pendapatnya yang berbasis pada ide ’kesetaraan gender’ profesor IAIN itu lalu membuat pernyataan yang aneh: ”Sejauh penelitian ulama terdahulu maupun penulis sendiri, Hadits-hadits tentang wali nikah di atas ternyata tidak ada yang shahih.”
Benarkah hadits-hadits tentang wali nikah bagi wanita tidak ada yang shahih? Pendapat ini sangat dulit diterima secara ilmiah.
Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa hadits ”Tidak sah nikah tanpa wali” diikuti pula oleh golongan ahli ilmu di kalangan para sahabat, seperti Umar, Ali, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Aisyah. Begitu juga para ahli fiqih di kalangan tabi’in seperti Said bin Musayab, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim bin Nakhai, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya.
Sebenarnya, selama ini, dalam perjalanan hukum Islam di Indonesia, soal wali nikah ini juga tidak menjadi masalah. Kitab-kitab Fiqih pun sudah membahas masalah ini dengan terperinci. Barangkali, si professor dari IAIN Semarang itu pun dulunya menikah dengan istrinya juga dengan wali bagi istrinya. Mungkin, dia nanti juga mau menjadi wali bagi putrinya yang menikah. Atau, jika dia konsisten dengan pendapatnya yang keliru itu, jangan-jangan dia pun akan membiarkan putri-putrinya menikah tanpa wali? Karena dalam pandangannya, kewajiban adanya wali bagi wanita dalam perkawinan dipandang sebagai penistaan derajat wanita.
Sebenarnya pandangan profesor IAIN itu telah meletakkan perspektif gender di atas Al-Quran. Perspektif gender dijadikannya cara untuk melihat hukum-hukum Islam. Dalam perspektif gender, pembedaan peran wanita dan laki-laki dalam aspek sosial-budaya dipandang sebagai produk sosial-budaya yang bias gender. Kaum pengusung gender memang memandang bahwa perbedaan jenis kelamin laki-laki dan wanita tidak membawa akibat apa-apa terhadap peran sosial budaya. Menurut mereka, wanita tidak boleh ditempatkan sebagai makhluk domestik dan laki-laki makhluk di luar. Kepala rumah tangga tidak boleh diserahkan kepada kaum laki-laki, hanya karena dia laki-laki. Laki-laki tidak boleh diberi hak-hak dalam rumah tangga atau di luar ramah tangga. Bagi kaum ini, laki-laki dan wanita harus diberi kesempatan dan hak yang sama, baik di dalam maupun di luar rumah.
Di dalam hukum Islam, memang ada perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, laki-laki wajib menafkahi istrinya. Wanita diizinkan untuk tidak shalat dan puasa karena haid. Laki-laki tidak ada cuti shalat dan puasa karena haid. Faktanya, aurat wanita juga berbeda dengan laki-laki. Perbedaan hukum itu terkait dengan perbedaan peran laki-laki dan wanita di dunia. Semua perbedaan itu bukan menunjukkan tinggi dan rendahnya status seseorang di mata Allah SWT. Jika seorang Ibu bermakmum di belakang anak laki-lakinya dalam shalat, bukan berarti di Ibu dilecehkan oleh anaknya. Jika wanita diberikan hak cuti hamil dan haid, bukanlah itu merupakan bentuk pelecehan oleh kaum laki-laki. Seorang istri yang menyediakan minuman bagi suaminya bukanlah suatu bentuk penindasan laki-laki atas wanita.
Tapi, semua itu tergantung dari perspektif mana dia melihat. Syahdan, seorang mahasiswi yang berfaham kesetaraan gender pada sebuah perguruan tinggi Islam di Jakarta merasa tersinggung ketika diberi kesempatan menempati tempat duduk di suatu bus umum oleh temannya yang laki-laki. Baginya, lebih terhormat berdiri berdesak-desakan di suatu bus umum ketimbang menerima belas kasihan kaum laki-laki. Bagi aktivis gender yang dimotivasi ideologi ’kiri baru’ (new left), mereka bahkan memiliki perasaan dendam kepada kaum laki-laki. Bagi mereka, laki-laki adalah kaum penindas wanita. Ulama-ulama mereka tuduh sebagai kaum penindas yang telah menafsirkan Al-Quran untuk kepentingan kaum laki-laki. Karena itulah, mereka aktif menentang berbagai diskriminasi peran sosial berdasarkan gender. Hanya saja, hingga kini, kita belum mendengar protes kaum penganut kesetaraan gender ini tentang pemisahan kamar kecil (WC) bagi laki-laki dan wanita. Malah, di sebuah mal di Lebak Bulus,
Cara pandang kaum aktivis gender itu tentu saja sangat berbeda dengan kaum Muslim yang memahami agamanya dengan tenang tanpa perasaan dendam dan memandang hidup ini sebagai ujian dari Allah untuk menjalani peran masing-masing sesuai ketentuan dari Allah. Kaum Muslimah selama ini merasa tenang dan bahagia hidupnya ketika berkutat dalam kehidupan rumah tangga dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Seorang Muslimah akan merasa nyaman dan bahagia ketika membersihkan rumah, mencuci baju suami dan anak-anaknya, menyediakan makanan bagi keluarganya. Semua itu dijalani dengan suka cita, karena yakin, bahwa itu adalah suatu ibadah. Konsep pengabdian dan ibadah ini tentu saja luput dari pikiran kaum aktivis gender.
Walhasil, pendapat yang disebarkan oleh profesor IAIN Semarang dalam soal wali nikah bagi wanita juga merupakan pendangan yang sangat tidak bijak. Sebagai dosen syariah, seyogyanya dia menghormati pendapat para ulama yang jauh lebih alim dari dirinya. Untuk apa dia menyebarkan pendapat seperti itu; apakah sekedar WtS (waton suloyo/asal beda, red)? Atau ada motivasi lain? Bagaimana jika para remaja putri kemudian menganggapnya sebagai pendapat yang benar, lalu mereka beramai-ramai kawin dengan pacarnya, tanpa perlu meminta perwalian dari orang tua? Bukankah ini akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat? Kita heran dengan mental dan perilaku dosen-dosen syariah semacam ini? Bukankah lebih baik dia mendiskusikan terlebih dahulu pendapatnya tersebut dengan para ulama dan para pakar bidang syariah dan hadits, sebelum menyebarkan pendapatnya yang keliru itu ke tengah masyarakat?
Pendapat yang asal-asalan tentang syariah Islam juga ditunjukkan oleh dosen syariah lainnya di IAIN Semarang, yaitu Rokhmadi, MAg. Pada Jurnal yang sama edisi 28/2005, pada rubrik dialog hukum ada pertanyaan kepada dosen syariah tersebut, bahwa di seorang laki-laki asal Minang menikah dengan wanita Minang tanpa harus memberikan mahar. Sebaliknya, justri pihak wanita yang memberikan mahar, karena adat Minang memang begitu. Pertanyaan itu dijawab oleh si dosen, dengan mengatakan, bahwa masalah mahar adalah berkaitan dengan hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) dan bukan ibadah mahdhah, yang harus diterima apa adanya. Maka, katanya, nash-nash dalam masalah ini terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakat pra-Arab dan masyarakat Arab. ”Artinya, ketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan Rasul-Nya sangat dipengaruhi situasi dan kondisi setempat, dengan menjadikan unsur budaya lokal saat itu sebagai pertimbangan utama penetapan ajaran Islam. Bahwa Al-Quran dan al-Sunnah sarat dan lengket unsur historisitas. Maka, tidak tepat mengakui (menerima) dan mempertahankan keberadaannya dengan segala konsekuensinya.”
Jadi, menurut di dosen syariah itu, karena masyarakat Arab menganut budaya patriarchi, maka wajar jika kewajiban memberikan mahar diwajibkan kepada laki-laki. Karena di daerah Minang yang dominan adalah wanita (matriachat tribe), maka kata si dosen, ”Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga.”
Menyimak pendapat dosen-dosen syariah seperti ini, kita tentu saja sangat prihatin, sekaligus geli. Betapa naifnya pendapat ini. Sepanjang sejarah Islam, kita melihat, tata cara perkawinan Islam yang satu di berbagai belahan dunia Islam, tanpa memandang unsur budaya. Jika mahar harus diberikan oleh pihak yang dominan, sesuai sosial budaya, maka akhirnya soal mahar ini tergantung kepada kondisi dan situasi setempat. Padahal, untuk
Si dosen itu telah melakukan kebohongan atau kebodohan yang luar biasa yang menyatakan bahwa kewajiban mahar bagi laki-laki adalah terkait dengan budaya pra-Arab atau budaya masyarakat Arab. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah saw tetap mewajibkan mahar harus diberikan oleh laki-laki, meskipun laki-laki itu sangat miskin, sehingga hanya bisa memberikan mahar berupa bacaan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Bahkan, Abu Thalhah pernah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar ”masuknya dia ke agama Islam”. Karena itulah, masalah kewajiban mahar bagi laki-laki ini adalah masalah sunnah Rasululullah saw, dan bukan urusan budaya Arab.
Pemikiran-pemikiran yang ’nyeleneh’ dan merusak syariah Islam memang sudah bukan hal yang asing lagi di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Semarang. Jangankan pemikiran yang menyerang syariah, pemikiran yang menyerang Al-Quran habis-habisan pun dibiarkan saja dengan leluasa diterbitkan dalam Jurnal ini. Pada edisi 30/2006, Jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang ini malah menurunkan satu tulisan yang mengusulkan agar dilakukan amandemen terhadap ayat-ayat Al-Quran yang dianggapnya bermasalah. Menurut si penulis, yang juga alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, di dalam Al-Quran ada ayat ”yang kotor” dan ayat ”yang bersih”. Karena itu, dia mengusulkan, agar umat Islam berani ”menghapus dalam pengertian ”mengamandemen” teks-teks keislaman terutama ayat-ayat Quran yang ”bermasalah” tadi.” (hal. 112-113).
Dengan semakin bertambahnya usia kampus-kampus Islam di Indonesia, kita sebenarnya berharap, dari Fakultas-fakultas syariah akan lahir pemikiran-pemikiran bermutu yang benar dan sehat. Dari kampus ini, kita harapkan lahir ulama atau cendekiawan yang shalih yang menjadi panutan bagi umatnya. Tentu saja merupakan musibah besar bagi umat, jika dari institusi pendidikan Islam, lahir cendekiawan atau pemikiran yang merusak Islam. Ke depan, kita berharap, pihak Departemen Agama lebih berhati-hati dalam mengangkap dosen-dosen syariah. Jangan sampai yang anti Al-Quran justru diangkat menjadi dosen agama.
Tapi, yang membuat kita terheran-heran adalah sikap para pejabat kampus dan para tokoh serta ulama di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.