Minggu, Maret 08, 2009

Kontroversi Dzikir Bersama

Sumber : http://artikelislami.wordpress.com/

Ketika saya hadir dalam acara dzikir bersama di masjid Istiqlal Jakarta tgl. 18 Agustus 2003, banyak telepon dan SMS ke handphone saya, yang menanyakan, menyesalkan, mengkritik dan mencerca tindakan saya menghadiri majelis tersebut. Namun ada pula yang senang dan gembira dengan penampilan saya di majelis tersebut. Dengan berbagai sorotan antara pro dan kontra terhadap kehadiran saya di majelis tersebut, saya merasa perlu untuk memberi keterangan di majalah yang kita sayangi ini, berbagai masalah yang mengganjal pikiran banyak orang. Semoga Allah membukakan hati kita untuk melihat yang benar itu adalah kebenaran dan kita diberi kekuatan untuk mengikutinya dan yang salah itu adalah salah serta kita diberi kekuatan untuk menjauhinya.

MAJELIS DZIKIR DAN HALAQAH DZIKIR DALAM HADITS-HADITS NABI SHALLALLAHU `ALAIHI WA ALIHI WASALLAM

Terdapat beberapa hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang memberitakan keutamaan majelis-majelis dzikir dan halaqah-halaqah dzikir di sisi Allah Ta`ala. Juga hadits-hadits tersebut memberitakan adanya halaqah-halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam di masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Hadits-hadits itu antara lain adalah sebagai berikut:

1). Keutamaan majelis dzikir:

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berputar-putar di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir. Maka bila mereka mendapati satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka pun saling panggil-memanggil dengan menyatakan: Kemarilah kalian karena di sini ada yang kalian cari.”

Selanjutnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menceritakan: “Maka para Malaikat itu merendahkan sayap-sayap mereka, demikian bertumpuk-tumpuk sampai ke langit terdekat (dengan bumi).”

Kata Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam : “Maka Tuhan mereka Yang Maha Agung dan Maha Mulia menanyai mereka –dan Dia lebih tahu dari mereka–: “Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?” Maka para malaikat itu menjawab: “Mereka bertasbih kepada-Mu (yakni mengucapkan subhanallah ), dan mereka bertakbir kepada-Mu (yakni mengucapkan Allahu akbar ), dan mereka bertahmid kepada-Mu (yakni mengucapkan alhamdulillah ), dan mereka mengagungkan Engkau.”

Kemudian Allah menanyai mereka para malaikat itu: “Apakah mereka yang berdzikir itu pernah melihat Aku?” Para Malaikat pun menjawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihat Engkau.” Allah menanyakan lagi: “Bagaimana seandainya mereka melihat Aku.” Maka para Malaikat pun menyatakan: “Seandainya mereka melihat Engkau, niscaya ibadah mereka kepada-Mu akan lebih kuat, dan mereka akan lebih kuat semangatnya dalam mengagungkan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.”

Kemudian Allah menanyai para malaikat itu: “Maka apakah yang diminta dari-Ku?” Para malaikat pun menjawab: “Mereka meminta dari-Mu surga.” Allah bertanya lagi kepada para Malaikat-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak pernah mereka melihatnya demi Allah wahai Tuhan.” Selanjutnya Allah bertanya lagi: “Bagaimana pula kalau mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka akan lebih besar keinginannya untuk mendapatkannya, dan lebih kuat semangatnya untuk memintanya serta lebih semangat untuk mencapainya.” Allah bertanya lagi: “Dan apakah yang mereka berlindung daripadanya?” Para Malaikat itu menjawab: “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari api neraka.” Ditanyakan pula oleh-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak, demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” Kemudian Allah menanyakan lagi: “Bagaimana pula kalau seandainya mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Mereka akan lebih kuat semangat larinya dan akan lebih takut daripadanya.” Maka Allah menyatakan kepada para Malaikat itu: “Aku jadikan kalian sebagai saksi, bahwa Aku mengampuni dosa-dosa mereka.” Maka berkatalah salah satu dari para Malaikat itu: “Di majelis dzikir itu ada si fulan yang sesungguhnya bukan dari mereka yang berdzikir itu. Dia datang ke majelis itu untuk satu keperluan.” Allah-pun menjatakan: “Mereka itu adalah majelis yang tidak akan celaka siapa pun yang duduk di majelis itu.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, lihat Fathul Bari juz 11 hal. 208 no hadits 6408 Kitabud Da’awaat bab Fadl-lu Dzikrillahi `Azza wa Jalla )

2). Halaqah dzikir yang dilakukan oleh para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan dipuji oleh beliau shallallahu `alaihi wa alihi wasallam :

Abu Said Al-Khudri radliyallahu `anhu menceritakan: Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah keluar dari rumahnya menuju masjid, dan mendapati di masjid itu halaqah (posisi duduk segerombol orang dengan formasi lingkaran). Maka Mu’awiyah menanyai mereka: “Untuk apa kalian duduk-duduk di sini?” Mereka pun menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Mua’wiyah pun mengulang pertanyaannya sembari memastikan: “Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk itu?” Mereka pun menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk di sini kecuali untuk itu.” Maka Mu’awiyah menyatakan kepada mereka: “Tidaklah aku meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kejujuran kalian. Dan tidaklah ada seorang pun yang kedudukannya dekat dengan Nabi yang lebih sedikit dariku dalam meriwayatkan hadits Nabi. Dan sesungguhnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pernah di suatu hari keluar dari kamarnya ke masjid beliau dan mendapati satu halaqah dari para Shahabat beliau. Maka beliau pun menanyakan kepada mereka yang duduk di halaqah itu: ((“Mengapa kalian duduk di sini?”)) Mereka pun menjawab: ((“Kami duduk di sini adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bertahmid kepada-Nya karena Dia telah menunjuki kami kepada Islam dan telah memberi kami kenikmatan dengan agama ini.”)).

Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam mengatakan kepada mereka: ((“Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan itu?”)). Maka merekapun segera menjawab: ((“Demi Allah kami tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan tersebut.”)). Setelah mendapat jawaban demikian beliau pun menyatakan kepada mereka: ((“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kalian. Akan tetapi, telah datang kepadaku malaikat Jibril. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia telah berbangga dengan majelis kalian di hadapan para Malaikat-Nya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 17 hal. 190 Kitab Adz-Dzikir wad Du’a wat Taubah wal Istighfar , Bab Fadl-lul Ijtima’ `ala Tilawatil Qur’an wa `ala Adz-Dzikri . Hadits ke 2701/40).

3). Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam Memerintahkan Kita untuk Duduk di Halaqah-Halaqah Ddzikir

“Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka hendaklah kalian bersenang-senang padanya.” Para Shahabat beliau bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah yang engkau maksud dengan taman-taman surga?” Beliau pun menjawabnya: “Halaqah-halaqah dzikir.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya juz 5 hal. 498 Kitabud Da`awat bab Ma Ja`a fi Aqdit Tasbih bil Yadi no hadits 3510 dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu )

Demikianlah tiga hadits dari sekian banyak hadits shahih yang menegaskan keutamaan majelis dzikir dan adanya majelis dan halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam memerintahkan untuk ikut duduk di halaqah dzikir itu.

MAKNA MAJELIS ATAU HALAQAH DZIKIR

Tentang makna majelis dzikir dan halaqah dzikir yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut di atas, telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H) dalam Fathul Bari nya jilid 11 hal. 209 sebagai berikut: “Dan yang dimaksud dengan dzikir di sini ialah membawakan lafadh-lafadh yang telah diriwayatkan anjuran untuk melafadhkannya dan memperbanyak mengucapkannya, seperti lafadh-lafadh yang dinamakan Al-Baqiyatus Shalihat, yaitu ucapan subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar , dan lafadh-lafadh yang digabungkan dengannya seperti Al-Hauqalah (yaitu ucapan La haula wala quwwata illa billah ), Al-Basmalah (yaitu ucapan bismillahir rahmanir rahim ), Al-Hasbalah (yaitu ucapan hasbunallah wani’mal wakil ), dan Al-Istighfar (yaitu ucapan astaghfirullah ) dan semisal itu serta doa meminta kebaikan dunia dan akherat. Diistilahkan dengan sebutan dzikir kepada Allah pula bila orang terus-menerus menjalankan amalan yang diwajibkan atau disunnahkan, seperti membaca Al-Qur’an dan membaca hadits, mempelajari ilmu agama, dan shalat sunnah.”

Kemudian Ibnu Hajar menambahkan di halaman 213:

“Dan dalam hadits ini terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dzikir dan keutamaan orang-orang yang berdzikir. Dan juga menunjukkan keutamaan berkumpul untuk berdzikir. Diterangkan pula bahwa orang yang duduk bersama mereka yang berkumpul dalam rangka berdzikir itu adalah dianggap termasuk dari orang-orang yang berkumpul untuk berdzikir dalam segala keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, sebagai kemuliaan bagi mereka walaupun orang yang duduk di situ tidak ikut dalam pokok amalan dzikir yang dilakukan di situ.”

BEBERAPA PENGINGKARAN PARA ULAMA’ TERHADAP MAJELIS DZIKIR DAN HALAQAH DZIKIR

Kita perlu memahami beberapa pengingkaran para Ulama’ terhadap berbagai majelis dzikir yang ada di zaman beliau-beliau itu. Agar kita mengerti duduk permasalahan yang sesungguhnya seputar masalah ini. Untuk itu saya nukilkan berbagai pengingkaran tersebut sebagai berikut :

1). Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadlel bin Bahram Ad-Darimi rahimahullah (meninggal pada th. 255 H) dalam Sunan nya membawakan sebuah riwayat pengingkaran Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bernama Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu terhadap halaqah-halaqah dzikir yang ada di jaman beliau. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak, dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yahya, dia mengatakan: Aku telah mendengar ayahku yang menceritakan apa yang didengarnya dari ayahnya, dia menyatakan: Kami sedang duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud menjelang shalat subuh. Kebiasaannya bila beliau keluar dari rumahnya, kami pun berjalan bersamanya ke masjid untuk shalat berjama’ah di sana. Di saat kami sedang menunggu Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumahnya, tiba-tiba datanglah Abu Musa Al-Asy’ari dan beliau bertanya kepada kami: “Apakah Abu Abdurrahman telah keluar menemui kalian?” Kami pun menjawab: “Belum.” Maka Abu Musa akhirnya duduk bersama kami di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sampai beliau keluar dari rumah untuk menuju masjid. Ketika beliau keluar, kami semua berdiri menyambutnya. Maka Abu Musa pun menyatakan kepadanya: “Wahai Aba Abdirrahman, aku barusan melihat di masjid suatu kejadian yang engkau ingkari, akan tetapi aku tidak melihatnya alhamdulillah kecuali kebaikan.” Maka beliau pun bertanya: “Apakah kejadian yang engkau maksudkan?” Abu Musa menjawab: “Bila engkau sampai di masjid engkau akan melihatnya. Aku melihat di sana ada sekelompok orang yang duduk berhalaqah-halaqah untuk menanti shalat. Pada setiap halaqah itu ada seorang pria yang memimpin mereka dan di tangan mereka ada batu kerikil. Pimpinan mereka berkata: ((“Bertakbirlah seratus kali.”)). Maka mereka pun bertakbir seratus kali. Kemudian pimpinan mereka menyatakan: ((“Bertahlillah seratus kali!”)), maka mereka pun bertahlil seratus kali. Selanjutnya pimpinan mereka menyatakan: ((“Bertasbihlah seratus kali!”)), maka mereka pun bertasbih seratus kali.” Abdullah bin Mas’ud kemudian menyatakan kepada Abu Musa: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak berkata apapun kepada mereka, karena aku menanti pendapatmu dan perintahmu.” Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidakkah sebaiknya engkau perintahkan kepada mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan engkau katakan kepada mereka bahwa kebaikan mereka itu sesungguhnya terjamin dan tidak akan disia-siakan.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud berjalan menuju masjid dan kami pun berjalan bersamanya. Ketika beliau masuk masjid dan mendatangi satu halaqah dari halaqah mereka itu, beliau pun berdiri di hadapan mereka sembari beliau menyatakan kepada mereka: “Perbuatan apa ini yang aku lihat sedang kalian lakukan?” Maka mereka pun menjawab: “Wahai Aba Abdir Rahman, ini adalah kerikil yang kami pakai untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami.” Maka Abdullah bin Mas’ud menyatakan kepada mereka: “Hendaklah kalian menghitung kejelekan-kejelekan kalian, karena kita menjamin bahwa kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang sia-sia sedikit pun. Celaka kalian wahai Ummat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian. Para Shahabat Nabi kalian masih ada dan baju Nabi masih belum rusak dan bejana-bejana peninggalan beliau masih belum pecah. Demi yang diriku ada ditangan-Nya, sesungguhnya kalian dalam keadaan salah satu dari dua kemungkinan, apakah kalian dalam keadaan lebih baik dari agama yang diajarkan oleh Muhammad shallallahu `alaihi wa wasallam (dan yang demikian itu tidak mungkin terjadi, pent), atau kalian sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka yang duduk di halaqah tersebut menyatakan kepada Abdullah bin Mas’ud: “Demi Allah, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan wahai Aba Abdirrahman.” Maka beliau pun menyatakan: “Betapa banyaknya orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak bisa mencapainya selama-lamanya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah menceritakan kepada kami bahwa akan adanya kaum yang membaca Al-Qur’an tetapi bacaannya tidak melampaui kerongkongan mereka. Demi Allah, saya tidak tahu barangkali mayoritas mereka itu adalah kalian.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud berpaling dari mereka setelah menasehati mereka.

Amer bin Salamah berkata: “Kami melihat setelah itu bahwa mayoritas orang-orang yang duduk-duduk di halaqah-halaqah itu adalah orang-orang dari kalangan Khawarij yang memerangi kami di peperangan Nahrawan.” Demikian riwayat ini dibawakan oleh Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunan nya jilid 1 hal. 68 – 69.

Riwayat ini menegaskan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap cara berdzikir yang ada di halaqah tersebut. Yaitu menghitung dzikir dengan batu yang dinilai oleh beliau sebagai amalan bid’ah, dan bukan pengingkaran terhadap dzikir bersama yang dilakukan padanya.

2). Al-Hafidh Al-Imam Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi Al-Baghdadi rahimahullah (wafat th. 597 H) menerangkan dalam kitab beliau Talbis Iblis halaman 393 sebagai berikut:

“Dan iblis sungguh telah menipu sebagian besar orang awam yang hadir di majelis-majelis dzikir. Mereka ikut menangis di dalamnya dan mereka menganggap bahwa hanya dengan begitu telah cukup dalam mencapai keutamaan majelis dzikir. Seandainyalah mereka tahu bahwa yang dituju dengan menghadiri majelis dzikir itu ialah untuk beramal dengan ilmu yang diterangkan padanya. Bila seseorang tidak beramal dengan ilmu yang dia dengar, maka apa yang didengarnya itu akan menjadi saksi yang memberatkannya di hari kiamat. Dan sungguh aku mengetahui adanya sekelompok orang yang menghadiri majelis-majelis dzikir sejak bertahun-tahun dan mereka menangis padanya dan mereka menghadirinya dengan penuh kekhusyu’an. Tetapi tak seorang pun dari mereka ini berubah dari kebiasaan yang biasa mereka perbuat yaitu perbuatan riba, menipu dalam berjual beli serta tidak berubah pula kejahilannya tentang rukun-rukun shalat. Juga tidak berubah dari kebiasaan ber ghibah (menggunjing) terhadap kaum Muslimin dan durhaka kepada kedua orang tua. Mereka yang demikian keadaannya itu telah ditipu oleh iblis dengan menampakkan kepada mereka bahwa menghadiri semata majelis dzikir itu dan menangis padanya akan menghapuskan dosa-dosanya. Aku berpandangan, seandainyalah mereka menghadiri majelis-majelisnya para Ulama’ dan orang-orang shalih, niscaya ia akan menggugurkan dosa-dosa mereka. Sebagian orang-orang yang hadir di majelis dzikir itu disibukkan dengan berangan-angan dalam keharusan bertaubat dari kemaksiyatan kepada Allah sehingga mereka tertunda-tunda untuk bertaubat dari dosa mereka. Sebagiannya lagi, adanya orang-orang yang menghadiri majelis dzikir itu untuk sekedar senang mendengar ungkapan yang ada padanya tetapi mereka terus-menerus saja mengabaikan keharusan beramal.”

Maka yang dikecam oleh Ibnul Jauzi disini adalah orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari majelis dzikir itu. Tidak mendapatkan tambahan ilmu dan tidak pula mendapatkan tambahan amal. Jadi bukanlah beliau mengecam majelis dzikir tersebut, tetapi yang dikecamnya adalah orang-orang yang hadir padanya tetapi tidak berubah ilmu dan amalnya kepada kebaikan.

3). Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H) menerangkan berbagai kemungkaran yang terjadi pada majelis-majelis dzikir sebagai berikut:

“Adapun dzikir dengan menyebut nama Allah semata, baik penyebutan namanya secara langsung (yaitu seperti menyebut lafadh Allah, Allah, Allah, Allah…., pent) ataukah dengan menyebut dlamir nya (yaitu lafadh pengganti seperti menyebut lafadh Hua, Hua, Hua, Hua yang artinya ialah Dia, Dia, Dia, Dia…., pent) adalah perbuatan bid’ah dalam Syariat ini. Juga secara bahasa dan perkataan Arab, kalimat tersebut salah. Karena nama tunggal (yakni penyebutan nama semata tanpa digandengkan dengan kata yang lainnya, pent) bukanlah ia sebagai kalimat pernyataan iman dan bukan pula kalimat pernyataan kufur.” Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 10 halaman 398.

Syeikhul Islam banyak membahas majelis yang sering dinamakan Majelis As-Sima’ atau terkenal juga dengan majelis yang padanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam serta bait-bait syair yang dinyanyikan dengan irama-irama tertentu. Beliau mengingatkan adanya kemungkaran dalam majelis-majelis demikian, seperti penabuhan gendang dan alat-alat musik lainnya, bertepuk-tepuk tangan, bersiul-siul, dan berteriak-teriak dalam berdzikir kepada Allah. Juga dzikir yang mengandung lafadh tawassul yang syirik serta bid’ah. Semua hal tersebut adalah perkara-perkara yang diingkari oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 10 dan 11).
Semua pengingkaran para Ulama’ sebagaimana tersebut, telah saya pelajari dan ketika semua itu saya teliti pada majelis dzikir yang dipandu oleh saudara Muhammad Arifin Ilham, hal-hal kemungkaran tersebut tidak saya dapati dan bila kadang-kadang terdapat pada sebagian yang hadir, maka pemandu segera menegurnya dan melarangnya. Ini yang saya saksikan pada mereka. Adapun berkenaan dengan dzikir yang disuarakan bersama dan dikomandoi dengan satu komando, hal ini ada catatan tersendiri berkenaan pengingkaran kepadanya oleh Al-Imam As-Syathibi rahimahullah untuk kita telaah secara ilmiah.

Satu-satunya dasar penilaian tentang bid’ahnya dzikir bersama itu sesungguhnya hanyalah apa yang dikemukakan oleh Al-`Allamah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi As-Syathibi (beliau meninggal dunia pada th. 790 H, rahimahullah wa askanahu fi jannatihi ) dalam kitab beliau Al-I’tisham . Beliau menerangkan padanya:

“Dimanakah di dalam Al-Kitab (yakni Al-Qur’an, pent) atau di dalam As-Sunnah (yakni Al-Hadits, pent) yang memberitakan adanya perkumpulan orang untuk berdzikir dengan satu suara disertai suara yang terang dan keras. Padahal sungguh Allah Ta`ala telah berfirman: (artinya) Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan dengan tersembunyi. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang yang melampaui batas. ( Surat Al-A’raf 55). Dan orang-orang yang melampaui batas sebagai disebutkan di ayat ini adalah orang-orang yang mengeraskan suara dalam berdoa.”

Selanjutnya As-Syathibi menukilkan sebuah riwayat:

“Dan dari Abi Musa, beliau menyatakan: “Pernah kami bersama Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam satu perjalanan. Waktu itu orang-orang pun menyuarakan dengan terang ucapan takbir. Maka Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: .”

Kemudian beliau menerangkan sebagai berikut:

“Dan hadits ini adalah tafsir yang sempurna bagi ayat tersebut (yakni ayat ke 55 surat Al-A’raf, pent). Padahal para Shahabat tidaklah mengeraskan suara dengan satu suara secara serempak. Akan tetapi Beliau melarang mereka untuk meninggikan suara, agar mereka menunaikan perintah ayat ini. Dan telah datang riwayat dari Salaf pula, adanya larangan untuk berkumpul dalam rangka berdzikir dan berdoa dengan model seperti yang dilakukan oleh mereka para ahli bid’ah. Dan juga telah datang larangan dari mereka para Salaf, untuk menjadikan masjid-masjid sebagai tempat untuk menjalankan amalan itu (yakni dzikir dan doa bersama itu, pent). Yaitu sebagai tempat yang diistilahkan sebagai Rubat yang menyerupai As-Suffah (yakni tempat tinggalnya para Shahabat Nabi yang tidak punya tempat tinggal di Al-Madinah setelah hijrah kepadanya, pent). Disebutkan yang melarang demikian dari kalangan Salaf itu adalah Ibnu Wahhab dan Ibnu Wadldlah dan selain dari keduanya, yang semestinya mencukupi bagi mereka yang diberi taufiq oleh Allah.” Demikian As Syathibi menerangkan.

Yang ditentang oleh Al-`Allamah As-Syathibi dalam perkara dzikir bersama, bila disimpulkan dari keterangan di atas ialah dua perkara:

1). Dzikir dan doa yang dilakukan dengan bersuara. Jadi mestinya dzikir itu dilakukan dengan tanpa suara.

2). Dzikir dan doa yang dilakukan dengan satu komando dan bersama-sama. Jadi seharusnya dilakukan dengan sendiri-sendiri.

Perlu pembaca pahami bahwa dalam beragama itu haruslah dilakukan dengan berdasarkan dalil syar’i yaitu dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun omongan selain keduanya tidak dapat dinamakan dalil agama. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut:

“Aku tinggalkan di kalangan kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitab Allah (yakni Al-Qur’an, pent) dan Sunnah Rasul-Nya (Yakni Al-Hadits –pent).” (HR. Malik secara mursal dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhu . Al-Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam As-Shahihah 1761)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam membimbing kita untuk berpegang dengan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu pemahaman dan pengamalan beliau-beliau terhadap keduanya. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagai berikut:

“Maka sesungguhnya siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 200 bab Fi Luzumil Sunnah no. 4607 dari Irbadl bin Sariyah, dan Ahmad dalam Musnad nya juz 4 hal. 126 – 127, At-Tirmidzi bab Ma Ja`a fil Akhadzi bis-Sunnah wajtanaabul Bida` juz 5 hal. 44 no. 2676, Ibnu Majah bab Ittiba’u Sunnatal Khulafaa’ juz 1 hal. 15 – 16 no. 42 – 44 dan Ibnu Jarir dalam Jamu’ul Bayan 212, Ad-Darimi dan Al-Baghawi dan Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah juz 1 hal. 205 no. 102)

Dengan demikian, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan pernyataan para Ulama’ untuk menghukumi suatu masalah tanpa meneliti dalil yang dikemukan dalam pernyataan itu. Karena setiap Ulama’ tidak akan lepas dari kemungkinan salah dalam fatwanya, sebagaimana biasanya manusia biasa. Tabiat salah pada manusia itu telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Semua anak Adam banyak bersalah, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad )

Maka dengan berdasarkan sabda beliau ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan:

“Semua omongan, bisa diambil dan bisa ditolak. Kecuali omongan penghuni kubur ini”. Sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .(Atsar riwayat Ibnu Abdul Hadi dalam Irsyadus Suluk juz 1 hal. 227 dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Jami` juz 2 / 91)

Demikian pula sikap kita terhadap keterangan Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah dalam perkara ini. Kita memeriksa dalil-dalil beliau dengan bimbingan para Ulama’ sehingga kita memandang segala sesuatu itu dengan cara ilmiah dan bukan ikut-ikutan sebagai simbol beragama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka keterangan As-Syathibi bila kita periksa dengan keterangan para Ulama’ yang lainnya adalah sebagai berikut:

1). Tentang dzikir dengan bersuara yang dianggap oleh beliau sebagai perbuatan bid’ah, maka dalam hal ini ada hadits dan keterangan Ulama’ yang menyelisihi beliau. Adapun haditsnya adalah sebagai berikut:

“Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: Allah Ta`ala berfirman: Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku bersama hamba-Ku apabila dia berdzikir kepada-Ku. Maka bila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku dengan tersembunyi pada dirinya, maka Aku akan mengingatnya dengan sendirian. Dan bila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku di depan halayak ramai, maka Aku akan menyebutnya di hadapan halayak yang lebih dari halayaknya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Dalam menjelaskan makna hadits ini, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaksud dengan berdzikir di depan khalayak ramai itu adalah berdzikir dengan berjamaah.”

Kemudian beliau menerangkan lebih lanjut: “Sebagian Ulama’ mengatakan bahwa dari hadits ini diambil pengertian bahwa dzikir khafiy (yakni dengan tersembunyi, pent) itu lebih utama dari dzikir jahriy (yakni berdzikir dengan bersuara).” Demikian Ibnu Hajar menerangkan. Maka dari apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar tersebut, dan juga dari ijtihad beliau sendiri dari hadits ini, kita dapat kejelasan bahwa dzikir dengan bersuara itu bukanlah sesuatu yang terlarang. Tetapi dzikir dengan tersembunyi tanpa bersuara itu yang lebih utama dari dzikir dengan bersuara. Juga kita mendapati pengertian bahwa Ibnu Hajar telah berijtihad dengan mengambil pengertian dari hadits ini, bahwa dzikir itu ada yang dilakukan dengan sendiri-sendiri dan ada pula dengan berjamaah.

Adapun dalil yang dikemukakan oleh As-Syathibi yang daripadanya diambil pengertian beliau bahwa dzikir dengan bersuara itu adalah terlarang, lebih-lebih lagi kalau dilakukan dengan berjama’ah, maka pengertian tersebut perlu ditinjau kembali dengan keterangan para Ulama’ yang lainnya. Dalam hal ini saya nukilkan keterangan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam menerangkan pengertian hadits tersebut:

“Maka dalam hadits ini ada anjuran untuk merendahkan suara dalam berdzikir apabila tidak ada keperluan untuk mengeraskannya. Karena bila dzikir itu dilirihkan suaranya, maka akan lebih utama dalam memuliakan dan mengagungkan Allah. Tetapi bila diperlukan untuk mengeraskannya, maka dzikir itupun dikeraskan, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits.” Demikian Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan.

2). Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma , bagaimana para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam berdzikir ketika selesai menunaikan shalat. Riwayatnya adalah sebagai berikut ini:

“Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma menceritakan adanya dzikir sesudah shalat dengan suara yang keras di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Ibnu Abbas menyatakan: Aku mengerti kalau orang-orang itu telah selesai menunaikan shalat ketika aku mendengar suara dzikir itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya mengeraskan suara ketika berdzikir sesudah shalat.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menerangkan tentang komentar Ibnu Hajar tersebut di atas sebagai berikut: “Seandainya Ibnu Hajar menyatakan: ‘Dalam hadits ini menunjukkan disyariatkannya dzikir dengan suara keras, niscaya tentu lebih benar lagi.”

Demikianlah dalil kedua ini juga menunjukkan bahwa suara gemuruh takbir sesudah menunaikan shalat berjama’ah lima waktu. Maka tentunya dengan dalil ini, gugurlah pendapat As-Syathibi yang melarang dikeraskannya suara dzikir.

3). Riwayat Ibnu Mas’ud tentang larangan beliau terhadap sekelompok orang yang melakukan halaqah dzikir di Masjid dengan dipimpin oleh seorang dalam melafadhkan kalimat-kalimat dzikir sesungguhnya adalah riwayat yang lemah. Padahal riwayat ini adalah satu-satunya dalil bagi As-Syathibi rahimahullah untuk menganggap bid’ahnya dzikir berjamaah. Kelemahan riwayat tersebut keterangannya adalah sebagai berikut:

a). As-Syathibi menyatakan: “Telah diriwayatkan oleh Ibnu Wadl-dlah dari Al-A’masy dari sebagian sahabat beliau: Abdullah bin Mas’ud lewat pada seorang yang sedang bercerita di depan para murid-muridnya dan orang ini menyatakan kepada mereka: . Maka berkatalah Abdullah:

Kelemahan riwayat ini karena dalam sanadnya terdapat rawi (yakni nara sumber) yang tidak diketahui, yaitu Al-A’masy tidak menyebutkan nama dari siapa beliau mendapatkan riwayat ini.

b). As-Syathibi menyatakan: “Dan telah diriwayatkan pula daripadanya bahwa seorang pria mengumpulkan orang-orang (di satu majlis) kemudian orang ini menyatakan kepada mereka: . Maka orang-orang di majlis itu pun mengucapkannya. Kemudian dia menyatakan kepada mereka: . Maka orang-orang di majlis itu mengatakannya. Maka lewatlah di hadapan mereka Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu , maka beliau menyatakan kepada mereka:

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Wadl-dlah dalam kitab beliau Al-Bida’ dalam riwayat ke 20 dari jalan Al-Auza’i yang mendapatkan riwayat ini dari Abdah bin Abi Lubabah. Dan riwayat ini juga lemah karena Abdah ini tidak pernah bertemu Ibnu Mas’ud sehingga sanad riwayat ini tidak sambung sampai ke Ibnu Mas’ud.

c). Selanjutnya As-Syathibi menerangkan: “Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlah bahwa sekelompok orang di Kufah bertasbih dengan batu kerikil di Masjid. Maka Ibnu Mas’ud mendatangi mereka dan didapati setiap orang dari mereka membawa sekantong batu kerikil. Maka mereka terus-menerus menghitung bilangan dzikir mereka dengan kerikil itu sampai Ibnu Mas’ud mengusir mereka dari masjid, sembari menyatakan: “Sungguh kalian telah membikin perbuatan bid’ah dan kedhaliman, apakah kalian menyangka bahwa kalian lebih berilmu dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .”

Riwayat ini juga lemah karena sanadnya terputus, berhubung rawi yang menjadi nara sumber berita tentang peristiwa tersebut bernama Sayyar Abul Hakam. Beliau ini tidak ketemu Ibnu Mas’ud yang berarti beliau tidak menyaksikan sendiri peristiwa tersebut. Akan tetapi ia mendengarnya dari nara sumber yang lainnya yang tidak disebutkan dalam riwayat ini. Sehingga riwayat ini dilemahkan oleh para Ulama.

Maka dengan kenyataan bahwa segenap riwayat pengingkaran Ibnu Mas’ud terhadap dzikir dengan berjamaah ini lemah, maka penilaian As-Syathibi tentang bid’ahnya perbuatan tersebut sangat dipertanyakan sisi akurasi keilmiahannya . Juga dengan kenyataan beberapa hadits shahih yang memberitakan adanya dzikir dengan bersuara, maka pendapat As-Syathibi yang mengatakan bahwa berdzikir itu haruslah dengan tanpa suara, adalah pendapat yang amat diragukan kebenarannya . Lalu kalau memang demikian, apakah pantas pendapat yang demikian ini dijadikan landasan dalam memvonis pelaku dzikir berjamaah itu sebagai ahli bid’ah atau orang yang melakukan perbuatan bid’ah? Tentu yang demikian ini tidak bisa diterima dalam prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun pendapat dan ijtihad Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah , tentu amat kita hargai sebagai suatu ijtihad. Namun kita dilarang ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada As-Syathibi atau kepada siapapun. Dan yang terpenting pula dalam perkara ini ialah: janganlah kita membiasakan diri untuk bermudah-mudah memvonis satu perbuatan sebagai bid’ah atau bahkan memvonis orang sebagai ahli bid’ah. Tetapi seharusnya kita berupaya mengembangkan penelitian dan pemeriksaan terhadap keterangan para Ulama dalam segala masalah, sebelum pada akhirnya kita memutuskan dengan penuh keyakinan ilmiah tentang benar atau tidaknya masalah atau pendapat itu. Kalau ternyata kita tidak mampu melakukan penelitian terhadap keterangan para Ulama itu, maka sebaiknya kita diam dan tidak mengatakan apapun tentangnya.

KRITIK DAN SARAN UNTUK SAUDARA MUHAMMAD ARIFIN ILHAM

Untuk menutup tulisan ini, saya memandang perlu untuk menyertakan beberapa kritik dan saran bagi majlis dzikir yang diadakan oleh saudara Muhammad Arifin Ilham. Sekaligus ini sebagai suara kekhawatiranku terhadap masa depan majlis dzikir tersebut dan sekaligus masa depan saudaraku Muhammad Arifin Ilham. Kritik dan saranku adalah sebagai berikut:

1). Tampaknya saudara Muhammad Arifin Ilham hanya berupaya mengumpulkan kaum Muslimin dan belum tampak program nyata apa yang ia canangkan melalui majlis ini, yaitu perjuangan menegakkan Syari’ah Islamiyah. Oleh karena itu, majlis dzikir ini harus diperbanyak sisi pembekalan kaum Muslimin dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan majlis ini seharusnya membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk mendatangi majlis ilmu untuk mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan rutin dan konstan di setiap daerah yang diadakan padanya acara dzikir bersama itu. Karena melalui jalan pembekalan ilmu yang demikian inilah kaum Muslimin akan bangkit semangatnya mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam naungan Syari’ah Islamiyah.

2). Tampaknya saudara Muhammad Arifin Ilham kurang memperhatikan kemestian dalam mendidik ummat. Yaitu kemestian menumbuhkan sikap furqan , yaitu sikap membedakan Al-Haq dari Al-Bathil, Al-Bid’ah dari As-Sunnah, Ahlul Haq dari Ahlul Bathil, Ahlus Sunnah wal Jamaah dari Ahlul Bid’ah wal Furqah. Majlis dzikir tersebut sedang mengarah kepada majlis legitimasi bagi tokoh-tokoh masyarakat, atau menjadi majlis galeri tokoh. Maka dengan sebab nuansa yang demikian ini, target yang ingin dicapai oleh panitia setiap mengadakan majlis dzikir tersebut adalah pengumpulan massa Muslimin yang sebanyak-banyaknya. Panitia merasa sangat bangga dan sangat berhasil bila acara dzikir yang diadakannya dapat menghadirkan ribuan atau ratusan ribu kaum Muslimin. Sikap yang demikian akan membahayakan masa depan perjuangan dakwah Islamiyah dan bahkan menyimpan bom waktu problem perpecahan ummat di masa depan. Karena esensi permasalahan perpecahan Ummat Islam tidak disentuh sama sekali. Yang dilakukan di majlis ini hanya seruan persatuan seluruh Ummat Islam dengan melupakan segala perbedaan yang ada di kalangan mereka. Padahal perbedaan yang terjadi di kalangan Ummat Islam sangat mendasar dan banyak menyangkut permasalahan ushul (pokok) dan tidak hanya perbedaan dalam permasalahan furu’ (cabang).

3). Disarankan kepada saudara Muhammad Arifin Ilham untuk mengajak jamaahnya memahami dengan seksama setiap lafadh dzikir yang diucapkan dalam majlis dzikir tersebut, agar dengan pembekalan tentang makna lafadh dzikir yang dibacakan dalam majlis itu, maka kaum Muslimin yang menghadirinya akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akherat.

4). Disarankan juga kepada saudara Muhammad Arifin Ilham untuk memperbanyak halaqah-halaqah ilmu di samping halaqah induk dalam bentuk acara dzikir bersama. Mereka yang telah dibangkitkan ruh agamanya dalam acara dikir bersama itu, diarahkan untuk komitmen dalam menghadiri acara pembekalan ilmu di halaqah-halaqah tersebut yang mengajarkan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, cara shalat dan berwudlu yang benar menurut tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , Sirah (yakni peri hidup) Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , cara membaca Al-Qur’an yang benar sesuai dengan tuntunan tajwidnya. Mengenal hadits Arba’in An-Nawawiyah (yakni kumpulan hadits Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ), kitab Riyadlus Shalihin dan sebagainya.

5). Perkuatlah semangat mengikhlaskan pengamalan agama ini untuk Allah semata dan perkuatlah semangat mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam meyakini dan menjalankan agama ini.

PENUTUP

Semoga dengan kritik dan saran ini, saudara Muhammad Arifin Ilham dan majlis dzikirnya, tidak mengalami nasib yang amat dikuatirkan oleh banyak pihak. Yaitu menjadi sebuah gerakan thariqat sufiyah yang cenderung menggampang-gampangkan perkara bid’ah dan syirik sehingga menjadi pintu sinkretisme agama sebagaimana nasib berbagai gerakan thariqat sufiyah dulu dan sekarang. Dan semoga dengan uraian ini akan bermanfaat bagi para pembaca yang budiman dalam menyoroti berbagai fenomena dakwah Islamiyah. Amin ya mujibas sa’ilin

1. Al-I’tisham , As Syathibi, jilid 2 hal. 93 – 94, Maktabah At-Tauhid, cet. Pertama, th. 1421 H / 2000 M.
2. Fathul Bari , Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 13 hal. 386, Al-Maktabah As-Salafiyah – Tanpa tahun.
3. Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 17 hal. 192, Darul Khair – Damaskus, cet. Th.1414 H / 1994 M.
4. Fathul Bari , Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 2 halaman 325

(Ja’far Umar Thalib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Jadwal sholat